Belajar memaknai hidup yang indah maupun yang sedih, karena "It always has to be dark for the stars to appear"

Kamis, 13 April 2017

Orang tua yang baik?

Ketika pikiran saya sedang random, terbesit pertanyaan dalam pikiran saya, Jika saya memiliki seorang anak, apakah saya tidak akan bisa menjadi orang tua yang baik?
Ketika saya sedang melalui perjalanan pulang yang lama di bis, saya menemukan penumpang disebelah saya seorang ibu dengan anaknya. Sang anak sedang rewel mungkin terlalu bosan melewati kemacetan jalan tol, si ibu dengan sabarnya terus menghibur dengan kata-kata yang mendamaikan.
Saya hanya melirik sambil merogoh dan memasang headset andalan saya.
Rumah saya berjarak 35 km dari kantor jadi hampir setiap hari saya bergegas bernagkat dari rumah ke kantor pada pukul 5.30 dan tiba kembali di rumah pada pukul 20.00 lalu mandi dan tidur.
maka mungkin saja pertanyaan random saya adalah benar, bahwa saya tidak bisa menjadi orang tua yang baik??
Tapi bukankah Tuhan menciptakan dunia ini dengan segala aspek keseimbangannya? sebagaimana diciptakan lelaki dan perempuan, maka Tuhan menciptakan orang tua yang bijak dengan banyak anak dan menciptakan kami pasangan yang terus mengiba dan mengharap kepadaNya sambil belajar menjadi orang tua yang baik.

Begin Again

Melihat postingan terakhir saya di blog ini, berarti sudah lebih dari 4 tahun saya tidak aktif di blog ini.
Saya begitu rindu menulis sampai akhirnya saya menguatk atik akun saya dan menemukan kembali blog ini.
Terlalu banyak perubahan, terutama karena saya tidak lagi tinggal terpisah ratusan kilometer dengan suami (namun masih tetap beberapa puluh kilometer pada hari-hari tertentu), dari Bontang yang damai menjadi "Big Durian" Jakarta dan tentunya dari 50 kg menjadi 60 kg.
Perubahan tempat, perubahan masa, semoga membawa kepada kedewasaan dan kedewasaan semoga membawa kita lebih dekat kepada Sang pencipta.

Jumat, 01 Maret 2013

Jangan Kepo Plisss…


Basa-basi atau kepo?? Saya sebenarnya sudah pernah membaca tulisan tentang hal ini di sebuah blog jejaring social teman saya. Satu dari sekian hal yang sangat ganggu tapi terkadang tidak kita disadari.

Dengan budaya masyarakat Indonesia yang dibilang ramah, gotong royong, tenggang rasa, rajin menabung… lho??? Budaya kepo alias ingin tau yang berlebihan atas urusan pribadi orang lain memang terkadang suka hinggap dalam benak seseorang sebagai wujud perhatian atas nama basi-basi untuk membangun keakraban. Tetapi terkadang pertanyaan-pertanyaan kepoisme yang tidak tepat justru malah membuat lawan bicara jadi ilfil tujuh turunan. Lebay yaaa…..

Contohnya seperti ini, Pada suatu ketika saya dan bos saya makan siang bersama di kantin kantor, kemudian tiba-tiba seorang bapak yang rupanya teman bos saya yang lama tak bertemu datang menghampiri kami. Diantara pertanyaan basa-basi seputar kabar, terselip satu pertanyaan, “Mbak, anaknya sekarang kelas berapa??” saya yang sedang lahap makan karena kelaparan, mendadak jadi hilang selera. Bagaimana tidak, bos saya kan tidak punya anak. Entah apa yang kemudian terlintas di benak bos saya, yang jelas dari wajahnya sih biasa-biasa aja,menjawab pertanyaan temannya dengan santai dan tersenyum bercanda. Tapi meskipun begitu suasana akan jadi jauuuh lebih baik jika seandainya pertanyaan tersebut diganti dengan, “Sehat mbak??” atau “Sekarang masih tinggal di Jalan ini??” atau “enak ya makanannya..”

Dan kepoisme terhadap saya pun ternyata belum berakhir setelah saya menikah, malah justru lebih dahsyat, ketika saya lagi kurus karena gak enak makan, ketika saya lagi males dandan, ketika saya lagi masuk angin, ketika saya lagi flu, bahkan ketika saya lagi gendut segar bugar, tetep pertanyaannya cuma satu. “Kok gitu, lagi isi ya???” *duwh…. Saya pun menjawab, “Iya, lagi diisi makan siang barusan”

Wahai manusia, percayalah bahwa pertanyaan terlalu pribadi seperti itu sungguh dampaknya bisa seperti dua sisi mata uang, apabila orang yang anda tanya memang memiliki anak atau memang sedang hamil, tentu itu akan menjadi bahan pembicaraan yang menarik, akan tetapi bagaimana jika kenyataan sebaliknya?? Bersiaplah dengan suasana canggung setelahnya….

Rabu, 21 November 2012

Rindu

Rindu macam apa ini??

Saya bisa mengatakan bahwa saya mengalami sedikit kegilaan tapi dengan stadium akut.
Saya masih bernafas, masih sanggup berjalan, makan, tidur dengan nyenyak dan bekerja dengan benar.
Tapi tidak merasakan hidup dalam kehidupan saya.

Rindu macam apa yang membuat saya seperti melihat bayangannya duduk di kursi depan televisi?
Rindu macam apa yang membuat saya mengumpulkan sisa-sisa aroma tubuhnya di sisi tempat tidur, dan di bantal yang ia gunakan?
Rindu macam apa yang membuat saya tak nyaman berada dalam rumah yang terbiasa saya tinggali sendiri?

Saya sangat mengaku salah karena menganggap semuanya akan mudah saja saya lewati, mengingat kami sangat terbiasa dengan situasi pertemuan untuk perpisahan yang relatif lama. Hampir 4 tahun saya kira sudah cukup sebagai masa "training". Tapi ternyata tidak akan pernah ada masa training yang cukup untuk sebuah pernikahan jarak jauh. Dan saya juga baru mengerti kenapa banyak wanita yang pada akhirnya melakukan "hal bodoh" menurut saya, yaitu dengan meninggalkan karirnya demi pasangannya. Mungkin tidak ada yang perlu diragukan dari komitmen dan kesetiaan, tapi kebersamaan adalah hal yang tak mampu digantikan dengan banyaknya materi maupun tingginya penghargaan.

Lalu bagaimana dengan saya???

Kamis, 25 Oktober 2012

Seminggu Lagi….

Seminggu lagi saya nikah…

What??? Nikah??? Yakeen?? Seeriuuus???

Setahun lalu pernikahan adalah cita-cita saya no. 1783 atau lebih mungkin, dan kemudian melesat jauh menjadi urutan no. 2 setelah no. 1 yaitu cari duit buat nikah..Nah lo..

Saya  25 tahun akan menikah, menjadi seorang istri, hamil, gendut, punya anak, jadi emak-emak , pake daster sambil gendong anak... Aaaah…lebay bangeet. Tapi sejujurnya saya memang berpikir bahwa lebih dari 30 tahun yang lalu mama menikah di usia 25 tahun, jadi anak perempuannya mestinya menikah diatas umur 25 donk. Ditambah lagi saya punya beraneka ragam cita-cita dan keinginan yang saya anggap akan sulit dicapai setelah saya menikah. Tapi semuanya berubah setelah saya merasa begitu “stuck” dengan status pacaran saya selama 6 tahun dengan seorang lelaki partner praktikum saya selama 5 kali berturut-turut.

Yup Ranggi, si Bos atau apapun julukan yang biasa saya panggil kepadanya adalah lelaki berambut kriwul  yang sering saya jadikan bahan becandaan, sampai suatu ketika mama mengingatkan saya bahwa ia sudah menjadi calon suami saya sehingga saya harus belajar untuk lebih menghormati dan menuruti kata-katanya. Dia adalah sahabat, pacar, kakak, penasehat terbaik dan tersabar di dunia (versi saya) and I love him so much…dan yang terpenting tidak perlu ada banyak alasan bagi saya untuk mencintainya.. Seeett..dddaaah…
Setelah kurang lebih persiapan yang begitu memusingkan, membutuhkan banyak dana tentunya, diiringi dengan berbagai tangis dan tawa, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu itu pun datang seminggu lagi…
Wish me luck ^^

Rabu, 05 September 2012

Hari-Hari Kontemplasi

Hari-hari belakangan yang saya lewati sukses menampar diri saya keras-keras. Tapi mungkin itulah cara bijak Allah untuk memperingatkan hambanya seperti saya yang terlampau sombong berjalan di muka bumi ini.
Betapa hati saya tidak merasa miris, ketika satu hari setelah hari pertunangan kami yang berjalan sukses dan membahagiakan terjadi sebuah musibah kecelakaan yang dialami Papa beserta 5 kerabat yang lain. Saya yang selalu merasa hebat hanya bisa menangis di ujung telepon di sudut ruangan yang terletak ribuan kilometer dari keluarga saya berada. Dalam pikiran saat itu hanya ada nama Ranggi calon suami saya beserta keluarganya yang terlintas di pikiran saya untuk membantu mama yang sedang berjuang mengurus segalanya.
Dari ujung telepon saya hanya bisa memantau dari jauh dan mendengar cerita betapa  perhatian dan bantuan yang mereka berikan begitu besar untuk keluarga saya. Hal itu seperti sebuah jawaban besar yang Allah berikan di tengah-tengah pertanyaan besar yang sering saya lontarkan perihal perubahan komitmen besar yang akan kami alami kurang dari 2 bulan ke depan. Mengingat betapa panjangnya masa pacaran kami dan kami terlalu terbiasa menjunjung tinggi visi hidup masing-masing tanpa perlu saling mempengaruhi satu sama lain.
Setelah kondisi papa yang stabil, saya dan keluarga saya juga harus menghadapi kehilangan mobil kami satu-satunya . Belum juga biaya perawatan papa beserta kerabat-kerabat kami yang mejadi korban yang harus  kami tanggung sebagai wujud pertanggungjawaban kami, selain biaya ganti rugi kepada mobil lain yang papa tabrak dan biaya pengurusan ke kantor polisi. Semua itu praktis menguras tabungan keluarga kami padahal pernikahan saya yang pastinya membutuhkan banyak biaya tinggal menghitung hari. Satu hal lagi yang pasti diambil hikmahnya adalah uang benar-benar hanya titipan dan tidak ada artinya dibandingkan keselamatan papa yang hampir bisa dibilang keajaiban jika melihat kondisi mobil yang hancur di bagian depan.
Dan Allah pun tak putus memberikan rejeki pengganti kepada kami melalui jalan yang sungguh tak kami sangka. Hingga saya pun tak begitu menghiraukan kekurangan untuk biaya pernikahan.

Seminggu yang berat tapi seminggu yang mendewasakan, dan bukan tak mungkin ini baru awal dari serangkaian persiapan panjang yang saya lewati setahun ini, dan sedikit bekal awal dari Allah untuk perjalanan panjang saya ke depan.

Alhamdulilah :)

Selasa, 14 Agustus 2012

Mudik

Mudik atau pulang kampung adalah suatu hal yang semestinya tidak terlalu istimewa mengingat tingginya frekuensi saya pulang kampung apalagi jika dibandingkan dengan tempat perantauan dan kampung halaman saya yang terpisah Laut Jawa.
Akan tetapi mudik menjelang lebaran tetap yang paling istimewa. Bahkan disaat 2 hari menjelang perjalanan mudik saya ini, seperti sudah tercium aroma hiruk-pikuk Bandara Juanda, keruwetan lalu lintas Surabaya-Sidoarjo, hingga aroma khas ketupat beserta segala pelengkapnya.

Selamat mudik semua...